Sejarah Kerajaan Aceh
Asal-usul Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh memiliki sejarah panjang dalam pendiriannya. Menurut H.J. De Graaf, dulunya kerajaan ini berawal dari penyatuan dua kerajaan kecil, yakni Lamuri dan Aceh Darul Kamal.
Awalnya, kedua kerajaan itu selalu bermusuhan. Dalam Hikayat Aceh, permusuhan tersebut hampir berakhir ketika terjadi perjodohan antara Ali Mughayat Syah dengan putri Raja Darul Kamal.
Kemudian, dikisahkan juga bahwa pasukan Mahkota Alam (Lemuri) melakukan penyerangan terhadap Darul Kamal saat pengantaran mas kawin. Akibatnya, para pembesar Darul Kamal termasuk Sultan Muzaffar Syah terbunuh.
Setelah tragedi tersebut, Sultan Syamsu Syah menjadi penguasa atas dua kerajaan. Beberapa waktu berselang, putranya yang bernama Ali Mughayat Syah naik tahta dan memindahkan pusat kerajaan ke Daruddunia (Banda Aceh).
Sejarah Jepara Dijuluki Kota Ukir Berkelas Dunia
Kota Jepara dijuluki sebagai The World Carving Center atau kota ukir dunia. Julukan tersebut dilatarbelakangi Sejak abad ke-19, Jepara telah dikenal sebagai salah satu daerah pusat penghasil kerajinan ukiran kayu dan mebel terbesar di Indonesia bahkan telah dikenal hingga mancanegara.
Karya seni ukir kayu sudah menjadi bagian dari budaya, seni, dan ekonomi masyarakat Jepara sejak dulu yang diturunkan dari generasi ke generasi seiring perkembangan zaman. Pada saat ini, Kota Jepara menjadi salah satu daerah penghasil kerajinan ukiran kayu terbesar di Indonesia, bahkan produk kerajinan kayunya telah di ekspor ke berbagai negara di dunia.
Lantas, bagaimana sejarah jepara dijuluki kota ukir berkelas dunia ?
Mengutip dari laman resmi Indonesia.go.id, sejarah kota Jepara mendapat julukan kota ukir karena dahulu kala Prabangkara, ahli lukis dan ukir itu, dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis istrinya dalam keadaan tanpa busana sebagai wujud cinta sang raja. Sebagai pelukis, ia harus melukis melalui imajinasinya tanpa boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana.
Prabangkara melakukan tugasnya dengan sempurna sampai kotoran seekor cicak jatuh mengenai lukisan itu sehingga lukisan permaisuri mempunyai tahi lalat. Raja sangat puas dengan hasil karya Prabangkara namun begitu melihat tahi lalat tersebut, maka marahlah sang raja dan menuduh Prabangkara melihat permaisuri tanpa busana karena lokasi tahi lalatnya persis dengan kenyataannya.
Prabangkara pun dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan kemudian jatuh di belakang gunung yang kini bernama Mulyoharjo. Prabangkara kemudian mengajarkan ilmu ukir kepada warga Jepara dan kemahiran ukir warga Jepara bertahan hingga sekarang.
Ukiran Jepara sudah ada sejak zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat sekitar tahun 1549. Anak perempuan ratu bernama Retno Kencono mempunyai peranan yang besar bagi perkembangan seni ukir. Di zaman ini kesenian ukir berkembang dengan sangat pesat ditambah dengan adanya seorang menteri bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa dan sangat ahli dalam seni ukir. Sementara daerah belakang Gunung diceritakan terdapat sekelompok pengukir yang bertugas untuk melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan.
Semakin hari kelompok ini berkembang menjadi semakin banyak karena desa-desa tetangga mereka pun ikut belajar mengukir. Namun, sepeninggal Ratu Kalinyamat, perkembangan mereka terhenti dan baru berkembang kemudian di era Kartini, pahlawan wanita yang lahir di Jepara.
Peranan Raden Ajeng Kartini dalam pengembangan seni ukir sangat besar. Ia melihat kehidupan para pengrajin ukir yang tidak beranjak dari kemiskinan dan hal ini sangat mengusik batinnya. Ia kemudian memanggil beberapa pengrajin dari daerah belakang Gunung untuk bersama-sama membuat ukiran seperti peti jahitan, meja kecil, figura, tempat perhiasan, dan barang cinderamata lainnya, yang kemudian dijual oleh Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), sehingga akhirnya diketahuilah kualitas karya seni ukir dari Jepara ini.
Pesanan pun banyak berdatangan dan hasil produksi pengrajin seni ukir Jepara pun bertambah jenisnya. Sementara itu, Raden Ajeng Kartini pun mulai memperkenalkan karya seni ukir Jepara ke luar negeri dengan memberikan berbagai cinderamata kepada teman-temannya di luar negeri. Seluruh penjualan barang ini setelah dikurangi oleh biaya produksi, uangnya diserahkan secara utuh kepada para pengrajin yang mana dapat menaikkan taraf hidup mereka yang berkecimpung di bidang ini.
Ciri Khas Ukiran Jepara
Ukiran Jepara memiliki ciri khas yang menunjukkan bahwa ukiran itu berasal dari Jepara yaitu dari motifnya. Motif yang sangat terkenal dari ukiran daerah ini adalah Daun Trubusan yang terdiri dari dua macam. Pertama, daun yang keluar dari tangkai relung. Kedua, daun yang keluar dari cabang atau ruasnya.
Ukiran Jepara juga terlihat dari motif Jumbai dimana daunnya akan terbuka seperti kipas lalu ujungnya meruncing. Dan juga ada tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun. Selain itu, salah satu ciri khasnya adalah tangkai relung yang memutar dengan gaya memanjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil untuk mengisi ruang dan memperindahnya. Ciri-ciri khas ini sudah cukup mewakili identitas ukiran Jepara.
Artikel ini ditulis oleh Marcella Rika Nathasya Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
Asal nama Jepara berasal dari kata \x22ujung para\x22, kemudian berubah menjadi \x22ujung mara\x22 dan \x22Jumpara. Kata \x22ujung para\x22 dapat diartikan sebagai tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah.
Menurut buku Sejarah Dinasti Tang (618-906 M) pada 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah berkunjung ke negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa. Keraaan ini diyakini berada di Keling, kawasan timur Jepara sekarang. Kaling dipimpin raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal tegas.
Penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M). Sebagai bandar perdagangan yang kecil dan baru ada 90-100 orang. Jepara dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak.
Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga. Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadikan mata rantai perdagangan Nusantara.
Setelah Pati Unus wafat, penggantinya adalah sang ipar, Faletehan/Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadirin, suaminya.
Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo Penangsang pada tahun 1549.
Pada kematian orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Nimas Ratu Kalinyamat.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549/1579), Jepara berkembang pesat menjadi bandar niaga utama di pulau Jawa yang melayani ekspor dan impor. Disamping itu menjadi pangkalan angkatan laut yang dirintis sejak masa kerajaan Demak.
Sebagai seorang penguasa Jepara yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara pada saat itu sebagai Bandar Niaga yang sangat ramai, Ratu Kaliyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme yang anti penjajahan. Itu dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka untuk mengempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574.
Tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai Rainha de epara Sonora de Rica, yang memiliki arti Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Pada saat itu serangan ratu yang gagah berani itu melibatkan hampir 40 buah kapal yang berisikan kurang lebih 5.000 orang prajurit. Tapi serangan tersebut gagal, namun semangat patriotisme Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bengsa portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia.
Pada Oktober 1574 sang Ratu Kelinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15 ribu orang prajurit pilihannya. Pengiriman armada militer kedua ini dipimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai Quilimo.
Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antar Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka Komplek kuburan yang disebut sebagai makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat juga sangat berjasa dalam budayakan seni ukir yang sekarang ini jadi andalan utama ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir patih Badardawung yang berasal dari negeri Cina.
Menurut sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, disebelah makam suaminya Pangeran Hadiri. Pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan sejahtera. Maka penetapan hari jadi Jepara yang mengambil waktu beliau dinobatkan sebagai penuasa Jepara atau yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra Sengkala Trus Karya Tataning Bumi atau terus bekerja keras membangun daerah.
Selain itu muncullah beberapa tempat wisata yang sangat indah di kota Jepara seperti pantai, bukit, air terjun, hingga gunung yang sangat indah. Yang paling banyak diincar wisatawan adalah keindahan pantainya, tidak hanya pasir dan tempat pantai yang bersih melainkan berkat pemandangan yang alami.
Kalau ingin healing ke pantai adalah pilihan tepat, cocok jadi tempat bersantai sambil menikmati pemandangan matahari terbenam berwarna kuning keemasan yang sangat eksotis. Dan wisata alam yang unggulan dan ikonik dari kabupaten Jepara adalah Pulau Karimunjawa. Dari kota menuju tempat tersebut kita harus menyeberang dengan kapal selama 3-5 jam.
Walaupun jauh tapi keidahan alam di Karimunawa berhasil menghipnotis banyak wisatawan terutama akan keindahan bawah laut yang masih sangat asri dan terjaga dengan baik.
INFO NASIONAL - Terletak di ujung Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Jepara terkenal di berbagai penjuru dunia sebagai pusatnya seni ukir dunia. Bahkan Kabupaten Jepara mendapatkan sebutan sebagai world carving center.
Seni ukir Jepara telah menjadi identitas kota ini selama berabad-abad. Kepiawaian warga Jepara dalam membuat seni ukir kayu tak lepas dari peran Ratu Kalinyamat yang saat itu memimpin Jepara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah awal seni ukir di Jepara diyakini bermula pada abad ke-14. Saat itu, seni ukir di Jepara berkembang dan digunakan untuk memperindah berbagai bangunan, seperti istana kerajaan, candi, hingga perabotan rumah tangga.
Perkembangan seni ukir di Jepara semakin pesat seiring penyebaran agama Islam dan masuknya pengaruh budaya Tionghoa melalui jalur perdagangan. Pada masa itu, Jepara menjadi pusat perdagangan penting, yang membuat terjadinya akulturasi dalam beragam budaya.
Seni ukir kayu kemudian tumbuh menjadi bentuk ekspresi budaya yang memadukan unsur-unsur lokal dengan pengaruh global, menciptakan ciri khas yang unik.
Di balik kehalusan setiap lekukan ukiran Jepara pun tersembunyi filosofi yang mendalam tentang kehidupan, alam, serta hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Seni ukir Jepara dikenal dengan motif-motif yang rumit dan detail. Beberapa motif yang sering digunakan yakni motif flora, fauna, geometris, dan pola-pola tradisional yang terinspirasi dari alam.
Dalam pandangan masyarakat Jepara, alam adalah sumber kehidupan, tempat manusia belajar tentang keseimbangan dan harmoni. Ukiran motif bunga, misalnya, melambangkan kelimpahan, keindahan, dan kesuburan. Sementara motif sulur atau dedaunan mengekspresikan pertumbuhan dan kesinambungan kehidupan.
Penerapan motif-motif alam ini menunjukkan bahwa manusia harus senantiasa menjaga keseimbangan dengan lingkungannya.
Nilai moral pada seni ukir Jepara ini dapat dilihat dari makna filosofis pada unsur sulur-sulur motif ukiran yang melambangkan kepribadian yang baik, yaitu ketekunan, keuletan, dan kesungguhan para pengrajin dalam membuat seni ukir Jepara.
Sedangkan nilai budaya pada seni ukir Jepara dapat dilihat dari keteguhan masyarakat Jepara untuk mengembangkan dan melestarikan seni ukir sebagai ciri khas kotanya.
Makna Filosofi Ukiran Jepara adalah menjunjung nilai keharmonisan dan keselarasan dengan alam yang dilambangkan dengan bentuk daun dan bunga pada relief ukir. Ukiran yang detail juga melambangkan bahwa pengukir Jepara adalah orang yang telaten, sabar dan mencintai keindahan.
Ragam Motif Ukir Jepara yang Memesona
Seni ukir di Kabupaten Jepara memiliki ragam motif yang menunjukkan keselarasan dan keindahan alam semesta. Motif-motif dalam ukiran tersebut juga banyak terpengaruh oleh zaman Ratu Kalinyamat dan pengaruh akulturasi berbagai agama di Indonesia.
Ukiran Jepara juga menggunakan berbagai teknik ukir, seperti ukiran tinggi (relief) dan ukiran rendah (hiasan permukaan).
Motif-motif yang sering ditemukan dalam ukiran Jepara mencakup flora dan fauna lokal, serta motif-motif geometris dan motif-motif islam. Motif flora dan fauna sering kali menggambarkan daun, bunga, burung, atau hewan-hewan seperti kuda, singa, atau naga.
Motif geometris sering kali terinspirasi dari pola-pola islami seperti bintang, lingkaran, dan segi empat. Itulah wujud akulturasi budaya dan agama yang tercermin dalam motif ukiran Jepara.
Ukiran asli Jepara juga terlihat dari motif Jumbai atau ujung relung dengan motif daunnya seperti kipas yang sedang terbuka yang pada ujung daun tersebut meruncing.
Selain itu juga ada buah tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun. Bentuk tangkai relungnya memutar dengan gaya memenjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil yang mengisi ruang atau memperindah.
Adapun motif tersohor ukiran di Kabupaten Jepara adalah daun Trubusan yang terdiri dari dua macam yaitu dilihat dari yang keluar dari tangkai relung dan yang keluar dari cabang atau ruasnya.
Tangkai relung biasanya memanjang dan membentuk cabang-cabang kecil yang jika diperhatikan tampak sangat rapi dan berbeda.
Karena itulah kegiatan mengukir yang dilakukan masyarakat Jepara memerlukan fokus yang sangat tinggi. Terlebih pula jika motifnya rumit seperti desain daun dan ruas-ruasnya. (*)
Kerajaan Aceh berada di Sumatera dan diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-14. Foto/Antara
menarik untuk diulas. Dalam riwayatnya, kerajaan ini cukup dikenal keberadaannya dengan berbagai kejayaan yang pernah dicapai.
Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam. Kerajaan ini berada di Sumatera dan diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-14.
Kerajaan Aceh memiliki lokasi yang cukup strategis karena berada dekat jalur perdagangan internasional. Kondisi ini membuat kedudukannya semakin kuat dan turut memengaruhi kemajuan kerajaan.
Lebih jauh, berikut ulasan mengenai sejarah Kerajaan Aceh, dari pendirian, kejayaan, hingga keruntuhannya.
Asal-usul Nama Jepara
Dikutip dari laman resmi PPID Kabupaten Jepara, asal nama Jepara berasal dari kata Ujung Para yang kemudian berubah menjadi Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara Kata Jepara sendiri memiliki arti sebagai sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah.
Kata ujung para terdiri dari dua kata yakni ujung dan para, ujung dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti bagian darat yang menjorok (jauh) ke laut, sedangkan para memiliki arti menunjukan arah. Sehingga ujungpara sendiri jika digabungkan memiliki arti sebagai suatu daerah yang letaknya menjorok ke laut.
Kota Jepara di Jawa Tengah. (Instagram @visitjepara)
MENGULIK alasan mengapa Jepara disebut Kota Ukir. Kabupaten Jepara yang terletak di ujung utara Jawa Tengah memiliki keindahan alam luar biasa. Masyarakat Jepara sangat kreatif. Mereka jago dalam membuat seni ukir kayu.
Hasil atau karya ukir kayu masyarakat Jepara bukan hanya dikenal di Indonesia, tapi juga sampai mancanegara.
Mengutip dari laman Indonesia.go.id, keahlian ukir masyarakat Jepara rupanya telah melegenda sejak zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang diceritakan secara turun temurun.
Saking kuatnya legenda tersebut, membuat masyarakatnya yakin jika kota ini terkenal akan ukirannya dan para pengukirnya begitu mahir membuat karya seni tiga dimensi ini.
Konon seorang pelukis dan pengukir yang handal bernama Prabangkara, dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis istrinya dalam keadaan tanpa busana sebagai wujud cinta sang raja. Sebagai pelukis, ia pun menuruti perintah sang Raja melalui imajinasinya tanpa boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana.
Sebagai ahli, Prabangkara melakukan tugasnya dengan sempurna hingga kotoran seekor cicak jatuh mengenai lukisan itu sehingga lukisan permaisuri mempunyai tahi lalat.
Raja yang mulanya sangat puas menjadi marah dan menuduhnya melihat permaisuri tanpa busana karena lokasi tahi lalatnya persis dengan kenyataannya.
Prabangkara pun dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan jatuh di Belakang Gunung yang kini bernama Mulyoharjo. Ia kemudian mengajarkan ilmu ukir kepada warga Jepara dan kemahiran ukir tersebut bertahan hingga sekarang.
Ukiran Jepara sejatinya telah ada sejak zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat pada 1549. Anak perempuan Ratu yang bernama Retno Kencono memiliki peranan yang besar bagi perkembangan seni ukir.
Kala itu, kesenian ukir berkembang dengan sangat pesat ditambah dengan adanya seorang menteri bernama Sungging Badar Duwung yang berasal dari Champa dan sangat ahli dalam seni ukir. Sementara untuk wilayah Belakang Gunung diceritakan terdapat sekelompok pengukir yang bertugas untuk melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan.
Kelompok ini diketahui memiliki perkembangan yang begitu pesat hingga menyebar ke desa-desa tetangga. Namun, sepeninggal Ratu Kalinyamat, perkembangan mereka terhenti dan baru berkembang kemudian di era Kartini, pahlawan wanita yang lahir di Jepara.
Peranan Raden Ajeng Kartini dalam pengembangan seni ukir juga terbilang sangat besar. Ia melihat kehidupan para pengrajin ukir yang tak beranjak dari kemiskinan membuatnya terusik.
Kartini pun memanggil beberapa pengrajin dari daerah Belakang Gunung untuk bersama-sama membuat ukiran seperti peti jahitan, meja kecil, figura, tempat perhiasan, dan barang cinderamata lainnya.
Hasil karya itu dijual oleh Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), sehingga diketahui kualitas karya seni ukir dari Jepara ini.
Tak sekedar di kawasan itu, Raden Ajeng Kartini juga mulai memperkenalkan karya seni ukir Jepara ke luar negeri dengan memberikan berbagai cinderamata kepada teman-temannya di luar negeri.
Itulah alasan mengapa Jepara disebut sebagai Kota Ukir.
Jepara, sebuah kota yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah, Indonesia, memiliki kekayaan sejarah dan keunikan budaya. Asal-usul Jepara dapat ditelusuri hingga zaman kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, di mana daerah ini telah menjadi pusat perdagangan dan peradaban maritim.
Adapun yang membuat Jepara benar-benar dikenal di seluruh dunia adalah julukannya sebagai 'kota ukir dunia'. Gelar ini tidak diberikan secara sembarangan, melainkan tercermin dari warisan seni ukir kayu yang membanggakan, yang telah menjadi ciri khas kota ini.
Jepara menyimpan sejarah panjang hingga kota tersebut mendapat julukan sebagai kota ukir berkelas dunia. Berikut ini penjelasan sejarah dan asal-usul Jepara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT